PKI di Pemilu 1955
PKI di Bali tergolong partai kecil pada 1950-an, dan hanya meraih tujuh persen suara ada pemilu 1955. Partai itu tidak mempunyai akar di Bali, berbeda dengan di Jawa Tengah.
PKI di Bali tergolong partai kecil pada 1950-an, dan hanya meraih tujuh persen suara ada pemilu 1955. Partai itu tidak mempunyai akar di Bali, berbeda dengan di Jawa Tengah.
51% Suara PNI di Pemilu 1955 PNI mendapat 51 persen suara dalam pemilu 1955 dan meraih mayoritas kursi di DPRD provinsi. Para pemimpin PNI menganggap mereka berhak memilih gubernur pertama untuk Bali pada 1958 dan marah sekali kepada Sukarno ketika ia menunjuk seseorang dari luar partai--Sutedja.
Pada tahun 1958, Bali ditetapkan status provinsi, dan Pemerintah Provinsi (DPRGR, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) dibentuk. DPRGR yang baru mengadakan sidang untuk memilih gubernur yang akan memimpin provinsi tersebut. Ada dua nama yang diusulkan: Nyoman Mantik dan Anak Agung Bagus Suteja. Sidang ini memilih Nyoman Mantik yang didukung PNI dengan perolehan 15 suara, sedangkan Anak Agung Bagus Suteja hanya memperoleh 11 suara (Lane, 2010). Namun Sukarno lebih memilih Suteja menjadi Gubernur karena mempunyai pandangan politik yang mirip dengan Presiden. Selain itu, selama menjabat sebagai Kepala Daerah Bali, Kepulauan Sunda Kecil, dan Indonesia Bagian Timur, Suteja telah menunjukkan kemampuannya dalam menjalankan kebijakan yang sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Pada tahun 1959, Suteja diangkat menjadi gubernur pertama Bali (Aju, 2015).
Penunjukan Suteja menjadi sumber konflik di kalangan elite Bali. PNI sebagai partai terdepan di Bali merasa ditipu dengan keputusan Sukarno. Sejak saat itu, pasukan Suteja dan PNI tidak lagi saling berhadapan. Ketika PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi dilarang pada tahun 1959, dalam praktiknya, Bali hanya tinggal memiliki dua partai politik besar, PKI dan PNI (Mardia, 2001). Alhasil Suteja perlahan mulai mendapat dukungan politik penuh dari PKI, hingga mulai beredar isu bahwa Suteja ternyata adalah anggota PKI (Lane, 2010).
PKI mendapat pertumbuhan pendukung yang pesat pada 1960an.
Para pemilik tanah di desa-desa, yang cenderung mengidentifikasi diri dengan PNI digugat oleh kaum penyewa, petani bagi hasil, dan buruh kasar. Mereka yang menentang PNI di desa masing-masing mendapati PKI sebagai jaringan lebih luas berisi orang-orang yang dapat membantu mereka dalam perjuangan lokal mengenai tanah dan hasil panen.
Sutedja memahami sepenuhnya makna kampanye anti-imprealis Sukarno, berbeda dengan sebagian besar pemimpin PNI, yang memiliki kerangka berpikir nyaris sebatas Bali saja. Sukarno mengapresiasi kesetiaan Sutedja sedemikian tinggi sehingga ia pada 1964 menunjukkan sebagai Penguasa Pelaksana Dwikoea Daerah—sebuah posisi yang pada umumnya diberikan kepada perwira militer.
Sutedja menduduki posisi Penguasa Pelaksanaan Dwikora Daerah (Pepelrada). Robinson menyatakan bahwa Sutedja diangkat sebagai Papelrada pada 1961.
Petani di Bali saat ini sedang menghadapi krisis. Letusan Gunung Agung pada tanggal 17 Maret dan 16 Mei menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat setempat, menewaskan 1.500 orang dan menghancurkan lebih dari 60.000 hektar tanah. Hal ini menyebabkan lebih dari 100.000 orang mengalami gizi buruk dan 75.000 orang mengungsi ke daerah lain (Robinson, 2006).
Gubernur Suteja menguraikan bahwa ia memperkirakan 25.000 hektar lahan hancur secara permanen dan 100.000 hektar tidak dapat digunakan selama beberapa tahun (dikutip dalam Robinson, 2006, hal. 367). Pada bulan April 1963, Gubernur Suteja mengumumkan:
Kami harus menyediakan makanan untuk 85.000 pengungsi, dan kami tidak mempunyai makanan untuk itu. Dampak paling parah dirasakan di wilayah timur Pulau Bali: Karangasam, Klungkung, Bangli, dan Gianyar. Pengungsi dari kabupaten-kabupaten tersebut kini mengepung kota-kota besar, Denpasar dan Singaraja. (dikutip dalam Robinson, 2006, hal. 367).
Petani di Bali saat ini sedang menghadapi krisis. Letusan Gunung Agung pada tanggal 17 Maret dan 16 Mei menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat setempat, menewaskan 1.500 orang dan menghancurkan lebih dari 60.000 hektar tanah. Hal ini menyebabkan lebih dari 100.000 orang mengalami gizi buruk dan 75.000 orang mengungsi ke daerah lain (Robinson, 2006).
Gubernur Suteja menguraikan bahwa ia memperkirakan 25.000 hektar lahan hancur secara permanen dan 100.000 hektar tidak dapat digunakan selama beberapa tahun (dikutip dalam Robinson, 2006, hal. 367). Pada bulan April 1963, Gubernur Suteja mengumumkan:
Kami harus menyediakan makanan untuk 85.000 pengungsi, dan kami tidak mempunyai makanan untuk itu. Dampak paling parah dirasakan di wilayah timur Pulau Bali: Karangasam, Klungkung, Bangli, dan Gianyar. Pengungsi dari kabupaten-kabupaten tersebut kini mengepung kota-kota besar, Denpasar dan Singaraja. (dikutip dalam Robinson, 2006, hal. 367).
Akibat kecaman Sukarno terhadap “komunistofobia”, mereka tidak dapat secara terbuka menunjukkan kebencian mereka kepada PKI. Konflik antara Sutedja dan PNI mencapai titik krisis pada Maret 1865, ketika Sutedja mengenakan tahanan rumah kepada salah seorang pemimpiin PNI, Wedastera Suyasa.
Gesekan politik yang semakin besar antara PKI dan PNI ini semakin terasa dan menyebabkan munculnya konflik-konflik serius yang tidak mudah dilupakan oleh pendukung kedua partai tersebut. Konflik ini semakin memuncak setelah Gubernur Suteja, yang bertindak sebagai PEPELRADA (Penguasa Pelaksana Perang Daerah) Bali, memerintahkan Wedastra Sujasa, perwakilan PNI di Pemerintah Provinsi Bali, untuk mundur dari tahapan di mana ia menyampaikan pidato dengan sentimen anti-PKI pada tanggal 6 Maret 1965 (Lane, 2010). Pidato Wedastra tersebut dinilai memicu perpecahan antar kelompok Nasakom yang berbeda. Wedastra Sujasa kemudian ditahan untuk dimintai keterangan atas perintah PEPELRADA Bali. Peristiwa ini berujung pada demonstrasi mendukung Wedastra (GP, wawancara pribadi, 30 Agustus 2015).
Pada tanggal 24 Maret 1965 dikeluarkan pernyataan bersama yang ditandatangani oleh tujuh partai politik dan Pantja Tunggal untuk meningkatkan persatuan dan kerja sama sejalan dengan Nasakom. Penandatangan antara lain Gubernur Suteja sebagai wakil Pantja Tunggal, Merta sebagai wakil PNI, Dupem dari PKI, M. A. Achmad dari Nahdlatul Ulama (NU), Mardia dari Partindo (Partai Indonesia), Sujana dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Frans Diaz dari Partai Katolik dan Rai Susandi dari IPKI (Ikatan Pendukung-Kemerdekaan Indonesia, Aliansi Pendukung Kemerdekaan Indonesia) (Sarwa, 1985).
Sarwa (1985) pernah menulis, berdasarkan artikel yang dimuat di surat kabar Suara Indonesia (Voice of Indonesia), bahwa pada tanggal 25 Maret 1965, grafiti mulai bermunculan di jalan-jalan, termasuk seruan “Gantung Suteja” dan “Retool ('ganyang') Suteja”. Sementara itu, juga terdapat coretan bertuliskan “Hidup Suteja”. Pada saat itu, ketertiban menjadi sangat terancam dan pada akhirnya pemerintah memilih mencari cara untuk menghentikan berkembangnya konflik. Pemerintah perlu menemukan cara untuk menyatukan masyarakat guna menjamin kelanjutan pembangunan dengan mencari dukungan untuk kampanye Ganyang Malaysia (slogan Konfrontasi).
Masters (konsuler urusan politik di kedutaan AS) melaporkan bahwa Sjafiudin itu Pro-PKI. Masters mendasarkan evaluasinya semata-mata atas kenyataan bahwa Sjafiudin mengeluarkan pernyataan pro-Sukarno pada pertemuan seluruh Pangdam pada Mei 1965. Ia satu-satunya jenderal yang “secara khusus memuji sambutan Sukarno kepada konferensi” dan “banyak menggunakan ‘gaya bahasa baru’ rezim Sukarno”.
Setelah krisis tanggal 1 Oktober, Sutedja dan Sjafiudin secara ketar mengikuti instruksi Sukarno untuk mencegah pembunuhan. Sesudah bertemu presiden di Jakarta pada 29 Oktober, mereka kembali ke Bali dan mengeluarkan pernyataan yang menegaskan mereka tidak ingin melampaui perintah Sukarno.
"Keputusan Pepelrada Bali dalam Hadapi G-30-S" Suara Indonesia, 1 Nobember 1965.
PNI mengadakan rapat akbar di Lapangan Puputan di Denpasar. Ketua PNI Bali, I Gusti Putu Merta, menyampaikan sambutan utama di hadapan ribuan orang. Ia menyesal bahwa kampanye anti-PKI di Bali tertinggal jauh di belakang kampanye di Jawa dan mengecam Sutedja karena membiarkan Bali menjadi “negara sendiri terpisah dari pusat.”
Akhir Oktober - Awal November PKI dan Partindo Bubarkan Diri karena mengalami tekanan, banyak anggota PKI dan Partindo mengumumkan pembubaran cabang-cabang lokal pada akhir Oktober dan awal November.
Pada awal November, Sutedja dan Sjafiudin memberi sejumlah konsesi kepada kampanye anti-PKI. Pada 1 November, mereka membentuk “Tim Pemeriksa” yang akan menentukan siapa saja yang terlibat dalam G30S di Bali.
Sutedja dan Sjafiudin mencabut izin terbit dua surat kabar, Fadjar dan Bali Dwipa, yang mendukung PKI.
Mereka mengeluarkan perintah “membekukan” PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi. “Pembekuan” itu bukan pelarangan terhadap organisasi-organisasi bersangkutan; langkah itu sekadar penghentian sementara seluruh aktivitas. Perintah tersebut juga secara jelas meminta anggota organisasi-organisasi tersebut untuk setiap hari melapor kepada polisi atau Angkatan Darat.
PNI yang berkoalisi dengan empat partai kecil lainnya, menuntut pada tanggal 10 November agar Sukarno mencopot Sutedja dan melarang PKI, Partindo, dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan kedua partai itu.
PNI menggalakan kampanye melawan Sutedja pada bulan November. Surat kabarnya, Suara Indonesia, hampir setiap hari memuat kecaman terhadap Sutedja, disertai berita mengenai organisasi ini atau itu—Front Nasional, sekelompok pejabat daerah, mahasiswa, DPRD Bali—yang menolak mengakuinya sebagai gubernur.
Sjafiudin menjelaskan kebijakannya pada sebuah rapat akbar pada tanggal 10 November, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Ia mengatakan bahwa Bali tidak mengalami kekerasan massal karena Angkatan Darat berhasil mengambil langkah-langkah penjegahan dan memastikan setiap orang dapat melihat bahwa PKI bukan ancaman.
Sjafiudin melangkah lebih jauh lagi dan membentuk Tim Pemeriksa (Teperda). Ia mengubah kantor PKI di Denpasar menjadi kamp penahanan untuk para tersangka yang akan diinterogasi.
Seorang tentara dan dua milisi meninggal.
Partindo juga menjadi sasaran represi ini. Melalui berbagai tindakan, Sutedja dan Sjafiudin bermaksud untuk memperlihatkan kepada kaum anti-komunis bahwa tidak perlu ada kekerasan; Para anggota PKI berada di bawah kendali, dan mereka yang terlibat dalam konspirasi G30S sedang dibersihkan.
Mayor Djasmin membentuk koalisi yang terdiri dari milisi lima partai politik antikomunis: PNI, NU, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik dan Partai Kristen.
Nyoman menulis pada lontar tertanggal hari itu di pojok bawah - 16 Desember 1965. Tulisan di lontar: “Saya mati jelas bukan pengecut. Saya mati demi perjuangan bersama-sama kawan yang ingin membangun negara yang adil dan makmur di seluruh Nusantara ini.”